Rabu, 02 Maret 2011

Kemarin Sore


Kemarin sore, saya mengucapkan kata pertama padanya… walau hanya begitu, namun saya sangat bahagia. Saat saling berbicara, rasanya saya sedang melayang-layang di udara. Saat saling berbicara, rasanya seluruh tubuh saya bergetar tak terhingga. Walau hanya begitu, namun saya sangat bahagia. Sebab saya mencintainya... sebab saya juga memujanya... dan sebab dia tak tahu apa-apa tentang rasa hati saya.
Kemarin sore, adalah sore terindah dalam hidup saya... walau hanya sedikit bercakap-cakap, namun saya sangat senang. Saat saya menatap matanya yang dingin. Saat saya mendengar suaranya yang maskulin. Walau hanya sedikit bercakap-cakap, namun saya sangat senang. Sebab saya menyukainya... sebab saya juga mengaguminya... dan sebab dia tak tahu apa-apa tentang gejolak hati saya.
Kemarin sore, seandainya saya bisa mengulanginya lagi... saya ingin menghabiskan tigapuluh detik itu dengan sangat cermat. Bukan hanya bertanya tentang hal-hal yang tidak penting. Namun saya akan mengungkapkan kegalauan hati saya karenanya. Walau hanya tigapuluh detik, namun saya sangat gembira. Sebab saya menyayanginya... sebab saya juga mengimpikannya... dan sebab dia tak tahu apa-apa tentang isi hati saya.
Kemarin sore, seandainya saya bisa meminta sang waktu untuk berhenti sejenak... saya ingin mengenalinya lebih dalam lagi. Menikmati saat-saat yang terhenti itu dengan baik. Merekamnya dalam memori saya. Lalu saya juga akan mengungkapkan betapa hati saya telah tercuri olehnya. Walau hanya sejenak, namun saya sangat mensyukurinya. Sebab saya mengkasihinya... sebab saya juga menginginkannya... dan sebab dia tak tahu apa-apa tentang andai-andai saya.
Kemarin sore, adalah sore terindah dalam hidup saya... sebab saya bisa bercakap-cakap dengannya selama tigapuluh detik untuk pertamakalinya. Dan sore itu tak akan pernah saya lupakan, sebab kemarin sore adalah sore termegah dalam kisah kasih saya.


(Jogja, 28 Oktober 2005)

Untuk Kekasihku di Masa Depan


Saat ini kita belum berjumpa untuk kali pertama
Darimu kuminta kesediaan hati untuk mencinta
Sebuah cinta yang tak sederhana dan tak biasa
Bukan cinta tanpa syarat dan tanpa raga
Aku mau kau mencintaiku dengan kemewahanku
Mencintaiku dengan keegoisanku
Mencintaiku dengan amarahku
Mencintaiku dengan nafsuku
Cinta yang akan kita bina nanti adalah cinta yang tak sempurna
Cinta yang penuh dengan luka
Cinta yang bukan pengorbanan semata
Namun dengan semua itu kita kan tahu bagaimana menjadi bahagia
Cinta yang tak ada dalam dongeng
Cinta dalam waktu berselang
Cinta dalam ikatan yang tak lekang
Sebab kita telah sepasang
Untuk kekasihku di masa depan
Bila tlah sampai waktu kita berjumpa
Maka kau telah siap penuhi syaratku semua
Yang kan kubalas dengan rasa setia tiada tara
Dengan begitu kita kan bahagia




17 November 2007

Sajak Untuk Pujaanku

Aku adalah sang pemuja…
Yang setiap kalinya selalu melihatmu duduk di sudut sana…
Melihatmu tertawa…
Bercengkrama…
Setiap waktu selalu memperhatikanmu
Membawangkanmu datang dan menghampiriku…
Lalu tersenyum padaku…
Setelah itu kau akan duduk di sampingku
Sementara kau bercerita tentang hari-harimu
Kau pun menanyakan kabarku
Dan aku pun mulai berbicara tentang kisahku yang lalu
Tetapi, setiap waktu aku pun tersadar juga
Bahwa semua itu hanya cerita yang kukhayalkan tiap harinya
Entah kau tahu atau kau mengira-ngira
Setidaknya aku adalah nyata
Lalu suatu waktu di sudut bangku itu
Aku kembali memperhatikanmu
Hingga semua berlalu
Dan yang tersisa hanyalah sang waktu, aku, dan bayangmu

Ketika saya membayangkan sang malam…


Hati saya berdendang senang…
Jiwa saya terbang melayang …
Perasaan saya terbebas dari kelam…
Benak saya terlepas dari suram…

Ketika saya membayangkan sang malam...

Sebuah mimpi menjadi nyata...
Sebuah kenangan tak lagi maya...
Sebuah harapan tak sekedar hasrat...
Sebab sang malam telah membuat saya terpikat...

Ketika saya membayangkan sang malam…

Dunia menjadi indah gemilang…
Langit gelap penuh dengan bintang…
Saya merasakan cinta penuh membahana…
Saya merasakan dendang bahagia…

Hari Ini


Hari ini kulewati seribu waktu menumpu...
Hari ini kujajaki sejuta hati melayu...
Diam! Biar kulagukan sebaris pujian
Tenang! Biar kualunkan merdu nyanyian

Hari ini kudapati sebilah cinta merayu...
Hari ini kulalui searah jalan menunggu
Berhenti! Biar kuamati tabur bintang di awan kelabu
Resapi! Biar kudengarkan syair cinta syahdu

Nanti dan dinanti...kan kutemui
Tunggu dan ditunggu kan kujalani
Hidup bersama mimpi nan merayapi
Hidup bersama cinta tak terdaki
Dan ku jatuh cinta pada hari ini...

Juwitaku Sendiri


Tertawalah selagi kau bisa…
menangislah selagi kau mampu…
sebab setelah kau lewati masa sendirimu, kan kuikat kau dengan tali kasihku…
kan kujadikan kau bonekaku…
hingga tak ada lagi aku, kau, dia.
Hanya kita dan kami.
Melangkahlah selagi kau kuat…
 menarilah selagi kau bergairah…
sebab setelah kau lewati masa sendirimu, kan kuborgol kau dengan rantai emasku…
kan kujadikan kau pajanganku…
hingga kita hanya ada kita.
Dalam satu yang satu.
Juwitaku sendiri berlari dengan langkah manisnya…
menerjang hujan di musim kemarau…
mengejar kekasihmu yang aku.
Betapa cintamu membuatku tak lagi rela melepasmu.

Juwitaku percayalah, bahwa tanpamu aku tak mampu terbang…
Sebab kaulah sayapku, kaulah kekuatanku…
Bahwa tanpamu aku tak mampu berlayar…
Sebab kaulah perahuku, kaulah anginku…
Maka Juwitaku sendiri…
Menanti kekasihmu yang aku…
Agar kita satu dalam satu…
Agar kita mampu terbang dan berlayar…
Dalam satu waktu, dalam kita.






Mandala 1 Jogja, 17 November 2007

Dalam Mimpi Itu Saya Berlari

            Semalam saya mimpi buruk sekali… mimpi itu membuat saya berlari jauh-jauh karena ingin bersembunyi. Mimpi buruk yang terasa amat nyata. Atau memang semua itu bukan hanya mimpi belaka?
Tapi, hingga saya bangun tadi pagi, saya tak ingat lagi apa yang membuat saya berlari. Walau perasaan takut masih menghinggapi saya hingga kini. Perasaan was-was masih menyelimuti saya sampai sekarang. Perasaan aneh karena saya memang tak bisa mengerti mengapa.
            Ketika harus bekerja pun saya masih memikirkan dan berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi dalam mimpi saya itu. Namun, tak juga ketemu. Tak juga terpecahkan. Bisa-bisa saya gila hanya karena penasaran berlebih pada mimpi buruk yang terlupa ketika bangun dari lelap.
            Bahkan saat malam kembali datang, saya masih berharap untuk bisa meneruskan isi mimpi saya itu. Seandainya saja saya tahu sebabnya, pastinya akan lebih mudah bagi saya untuk mempersiapkan diri sebelum tidur dan bertemu dengan sang mimpi.
            Sangat menyiksa. Saya hanya ingin tahu saja.



29 April 2009

Hanya Sebuah Prosa

               Terkadang aku ingin seperti air yang tenang dan mengalir anggun. Namun terkadang pula aku ingin seperti burung-burung gereja yang terbang kian kemari kemudian hinggap sesuka hati. Lalu kusadari lagi bahwa aku ini hanya manusia. Aku hanya bisa merangkak, berjalan, dan berlari. Sebab aku tidak bisa terbang. Aku tidak memiliki sayap yang bisa membawaku melayang lenyap dalam senyap. Aku hanya seorang perempuan yang pernah memiliki masa kecil yang menyedihkan. Aku hanya perempuan dengan sejuta angan tanpa pernah bisa menggapainya semua. Dan aku hanya perempuan yang selalu mengingat-ingat masa kelamnya.
 
Terkadang aku ingin berjalan jauh tanpa henti hingga akhirnya kakiku tak mampu lagi melangkah. Aku ingin berlari dari semua kenangan buruk yang membuatku terpuruk. Namun kusadari bahwa aku hanya manusia yang memiliki kesempatan memperbaiki semuanya tanpa pernah berhasil memperbaikinya. Aku hanya perempuan yang harus menjadi yang tertegar hingga aku sendiri lupa pada wujud asliku. Dan aku hanya perempuan yang terjebak di antara banyak pilihan hidupku.

Bila nantinya aku memilih satu jalan, maka aku akan bertemu dengan percabangan jalan yang lain. Namun bila aku tetap berhenti maka aku hanya akan mengering dan mati sia-sia. Aku hanya perempuan yang harus melangkah ke arah yang tak kuketahui akhirnya. Sebab begitulah manusia. Dan aku adalah salah satunya.

Suatu waktu pernah kucoba untuk mengakhirinya saja, lalu aku berpikir untuk bunuh diri dan mati tiba-tiba. Tapi bila begitu maka aku tak ubahnya seperti sosok yang tak berarti sama sekali. Tak mampu menghadapi hidupku dan hanya bisa mati mengakhiri sesuatu yang belum lagi dimulai. Bila begitu maka aku tak ubahnya seperti seorang pengecut.

Hingga akhirnya aku memilih satu jalan yang bagiku adalah jalan terbaik. Aku melangkah setapak demi setapak, sambil sesekali memperhatikan petunjuk atau arah jalan yang kutuju. Bila nantinya aku menemui kesalahan, maka itu akan jadi sesuatu yang sangat wajar. Sebab semua manusia selalu melakukan kesalahan. Setiap manusia selalu memiliki kebodohan. Dan setiap manusia selalu melakukan penyesalan.

Memang jalan yang kutuju masih jauh sekali berakhir. Namun setidaknya aku telah berani mencoba dan berani meninggalkan kepengecutanku. Walau pun aku tak tahu kemana arahnya, walaupun aku juga tak tahu kapankah berakhirnya.



Saturday, July 30, 2005

Rayuan Rindu…

 
Wahai lelakiku...Aku selalu menantimu...Hadir di setiap mimpiku...
Wahai lelakiku...
Aku selalu menunggumu...Berbisik lembut dalam kalbuku...
Sebab aku sangat menginginkanmu,
Menemaniku melalui perputaran sang waktu...Mengharapkanmu,Merengkuhku dalam dekap pelukmu...
Aku akan selalu mengagumi sosokmu
Dan keanggunanmu saat memetik dawai emasmu...Aku akan selalu mengagumi auramuDan keindahamu di atas panggung megahmu...
Hingga sang dewa asmara mengabulkan inginku...
Hingga sang bayu berhembus membisikkan kata rindu...Hingga nanti saat kau tak hanya berlalu di depanku...Hingga nanti saat kau mengenali sosokku...
Aku akan selalu merindu bersama belai lembut sang bayu...
 
Saturday, July 30, 2005

SAYA PEREMPUAN, BUKAN BERARTI SAYA PERAWAN!

 

              Saya tidak pernah merasa harus mempertahankan keperawanan. Walau begitu bukan berarti saya adalah seorang wanita gampangan. Saya hanya merasa tidak wajib untuk menyimpan keperawanan. Sebab yang nantinya ada pada diri saya hanyalah kepalsuan. Seperti halnya wanita lain, saya pun juga pemuja keindahan. Bukan berarti saya harus memuja keutuhan dari selaput dara yang bagi para lelaki adalah harta terpandam. Saya tidak peduli dengan apa kata orang-orang. Yang saya pedulikan adalah ketidakmunafikan. Saya berkata dari dalam hati, bukan sekedar ucapan dari mulut semata. Sebab saya ingin jujur. Terutama pada diri saya sendiri.

            Saya perempuan, bukan berarti saya perawan. Entah dari segi mana keperawnan dinilai, setidaknya bagi saya selaput dara tak ubahnya seperti segel. Yang artinya bila barang itu milik saya, maka hak sayalah untuk memutuskan kapan akan membukanya. Dalam hal ini saya tidak bermaksud merendahkan diri saya sendiri atau kaum perempuan. Ini hanya pendapat saya.

            Kadang kala timbul dalam benak saya untuk bertanya, mengapa hanya perempuan yang memiliki selaput dara? Dan mengapa wajib bagi perempuan untuk mempertahankan keperawanannya? Buat apa perempuan harus mempertahankannya untuk lelaki yang akan dinikahinya, padahal belum tentu lelaki itu masih perjaka.

            Bodohnya kaum perempuan, karena tidak bisa membedakan lelaki yang masih perjaka atau yang sudah tidak lagi. Di sini saya mencaci kaum saya sendiri karena saya pun merasa bodoh. Bukannya seharusnya antara perempuan dan laki-laki seimbang? Seperti yang selalu digembar-gemborkan dalam televisi atau media cetak atau demonstrasi tentang hak asasi wanita. Sudah adil memang bila Tuhan menciptakan perempuan dengan vagina dan laki-laki dengan penis. Sudah adil bila Tuhan menciptakan perempuan dengan buah dada dan laki-laki dengan buah zakar. Namun tidak adil bila Tuhan hanya menciptakan selaput dara pada perempuan saja. Nah, sekarang yang ada saya malah menentang Tuhan. Maaf, Tuhan. Bukan maksud saya begitu, tapi setidaknya ini hanya unkapan saya saja. Bukankah saya berhak mengungkapkan apa yang ingin saya sampaikan?

            Kembali pada perkara keperawanan tadi. Kalau perawan berarti emas, lalu bagaimana dengan keperjakaan yang kasat mata itu? Sebab pada kasus-kasus lama selalu istri yang ketahuan sudah tidak perawan lagi yang akan dilecehkan. Lantas bagaimana para istri tahu kalau suaminya sudah tidak perjaka?

Bagi saya keperawanan hanya simbol dan itu tidak mutlak. Mungkin karena budaya yang menjunjung tinggi keperawananlah yang membuatnya terlihat begitu sakral dan suci. Bukankah seharusnya yang dilihat itu hati dan jiwanya. Sebab yang sering saya dengar begitu. Lihatlah perempuan bukan dari fisiknya, namun dari kecantikan dalamnya atau yang tren disebut inner beauty. Sekali lagi saya bertanya, bukankah selaput dara itu termasuk fisik karena bisa diraba?

            Entah kenapa dari tadi saya hanya menyatakan ketidakadilan melulu. Mungkin karena saya terlalu penasaran dengan jawaban-jawaban yang juga kasat mata seperti keperjakaan. Atau saya terlalu perfeksionis membela kaum perempuan? Sampai saat ini saya masih tidak mengerti.

            Saya perempuan, bukan berarti saya perawan. Namun bukan berarti saya perempuan gampangan. Keperawanan saya hanya saya berikan pada laki-laki yang benar-benar saya cintai dan saya percayai. Bila cinta saya mengusang, toh itu bukan halangan. Sebab samapai saat ini saya hanya bersenggama dengan satu laki-laki saja. dan itu kejujuran saya pada diri saya sendiri. Itu bukan suatu kemunafikan.


Sunday, July 31, 2005

Saya Ingin Membunuhnya dalam Mimpi

Attacust
Terkadang saya bisa membenci orang dengan amat dalam. Saking dalamnya sampai rasanya ingin muntah tiap bertemu dengannya. Saking ingin muntahnya sampai rasanya ingin mematikannya seketika. Saking ingin mematikannya sampai rasanya takut yang tersisa. Itulah yang saya rasa padanya.

Sebuah kebencian yang mematikan. Sebuah ketakutan yang menekan. Siapa yang salah dalam hal ini? Dia yang menyebalkan atau saya yang ketakutan?

Lalu pada akhirnya saya hanya bisa membunuhnya dalam mimpi. Sebab tak ada cara lain yang pasti. Sebab selain bermimpi pun saya tak berani.

Terkadang saya bisa mencinta orang dengan amat dalam. Saking dalamnya sampai rasanya tak ingin berpisah tiap bertemu dengannya. Saking tak mau pisahnya sampai rasanya ingin mati saja. Saking ingin matinya sampai rasanya takut yang tersisa. Itulah yang saya rasa padanya.

Sebuah percintaan yang mematikan. Sebuat ketakutan yang menekan. Siapa yang salah dalam hal ini? Dia yang menyebalkan atau saya yang ketakutan?

Lalu pada akhirnya saya hanya bisa membunuh diri saya dalam mimpi. Sebab tak ada cara lain yang pasti. Sebab selain bermimpi pun saya tak berani.

Antara benci dan cinta sama-sama berakhir dengan mati. Bukan karena keduanya memang saling bertarikan dengan kematian, tapi karena saya memang gila dengan kematian. Gila karena takut mati. Gila karena terkadang saya ingin mati.

Dokter bilang saya punya masalah yang namanya deathphobia. Lalu kembali saya renungkan, tak ada salahnya dengan masalah kejiwaan yang saya derita ini. Sebab hampir semua orang merasakannya. Bahkan dokter saya pun tak menyangkal kalau dia pun memiliki masalah yang sama.

Cerita klasik tentang masalah klasik. Hanya orang sakit jiwa saja yang mau membacanya pun menulisnya. Itu artinya Anda dan saya sama-sama sakit jiwa!! Terimakasih untuk mengakuinya


September 1st, 2007

Aroma sang Malam

 

Selalu saya rasakan harum dan memabukkannya aroma sang malam merasuki…bahkan di tengah-tengah tidur saya pun semerbak itu datang menghantui, datang memenuhi tiap sela dalam ingatan diri ini…

Selalu saya cari aroma yang sama dalam kehangatan hari…bahkan di antara berjuta sosok berhamburan yang mengering dalam tumpukan daun dan tanah pun tak saya temui, dalam genangan darah tiap kematian pun tak saya dapati…

Hingga pada akhirnya saya mulai menjadikannya sebagai candu jiwa… saya mabuk olehnya… saya terlena… kemudian saya menggila karenanya…

Aroma sang malam yang jantan dan perkasa… aroma yang memberi sebersit kelembutan pada sisi jiwa saya… aroma yang juga menyatukan sel-sel tubuh saya dan membuat saya terbangun dalam tiap mimpi untuk menikmati indah hembusnya…

Aroma itulah yang membangunkan keegoisan saya… menarik sisi liar saya untuk terus memujanya… dan saya pun jatuh terluka karenanya…

Hingga pada akhirnya saya mulai menjadikannya sebagai racun… saya tersiksa olehnya… saya terluka… kemudian saya mati karenanya…

Bagai sebuah anugerah yang membawa musibah… begitulah aroma sang malam membuat saya bertulah… Dan yang tersisa dari saya hanya sosok yang membuat jengah… begitulah aroma sang malam membuat saya bagai sampah… Dan akhirnya jiwa saya pun memusnah… sudah…


December 17th, 2006

Biarkan Saya Menikmati Kepengecutan Saya

Tuhan…biarkan saya tersenyum saat melihat tawanya…atau biarkan saya tersipu saat mendengar suaranya…setidaknya walau hanya begitu, saya sudah merasa bahagia…

karena kemarin dia memberikan saya tawa dari kejauhan…dia mengingat nama saya walau sejak lama saya tak berani menyapanya…dia memberi saya debaran dalam dada…

Tuhan…biarkan saya menikmati jatuh cinta padanya…atau biarkan saya sekedar jadi pengagumnya saja…setidaknya walau hanya begitu, saya sudah merasa lega…

karena tiap kali saya membayangkan wajahnya, saya terlena dan tak kuasa menahannya…tiap kali saya memimpikan kebersamaan dengannya, saya terluka karena kepengecutan saya…seandainya saya memiliki keberanian untuk mencintainya…

Tuhan…biarkan saya mengagumi ketampanan sosoknya…atau biarkan saya sekedar bersyukur karna Kau menciptakannya…setidaknya walau hanya begitu, saya sudah merasa gembira…

karena kehadirannya bagai setitik khayalan dari nirwana…hingga membuat saya tak berarti di depannya…namun saya tak mampu mengenyahkan bayangannya dari benak saya…
untuk itu, Tuhan…biarkan saya menjadi benalu atas keberadaannya…sebab hanya dengan melihatnya saja saya sudah bahagia…

Tuhan…biarkan saya menikmati kepengecutan saya…

 

August 11th, 2006

Sepertinya sebentar lagi saya mati…

Kacung saya suka sekali bercerita…ceritanya macam-macam…dari yang lucu sampai yang nestapa…membikin saya ketawa bahkan menangis tersedu…Kacung saya memang agak gila…

Kacung saya suka sekali bercanda…candanya macam-macam…dari soal politik sampai agama…membikin saya pusing dan prihatin…Kacung saya sudah mulai sedikit lebih dari sekedar agak gila…

Suatu waktu kacung saya tertawa tanpa alasan…tertawa terbahak-bahak sampai meneteskan air mata…saya jadi kuatir dibuatnya…Sepertinya kacung saya semakin menggila saja…

Suatu waktu kemudian, kacung saya menangis tanpa alasan…menangis tersedu-sedu sampai napasnya tersengal-sengal…saya makin kuatir padanya…Sepertinya kacung saya sudah benar-benar gila…

Pagi ini saya mengajak kacung saya berbicara dari hati ke hati…saya harap dia mau berhenti gila lalu kembali normal seperti biasa…tapi pada akhirnya dia malah menangis-nangis di depan saya…kali ini saya takut dibuatnya…kacung saya makin parah gilanya…

Hingga akhirnya saya jadi makin takut dan kalut…lalu mendadak terbersit ide gila di benak saya…harus saya lakukan demi kebaikan kacung saya yang tiap harinya makin bertambah parah gilanya…


 ***************************

Majikan saya suka sekali bercerita…ceritanya macam-macam…dari yang lucu sampai yang nestapa…membikin saya ketawa bahkan menangis tersedu…Majikan saya memang agak gila…

Majikan saya suka sekali bercanda…candanya macam-macam…dari soal harga sayuran sampai pajak penghasilan…membikin saya pusing dan prihatin…Majikan saya sudah mulai sedikit lebih dari sekedar agak gila…

Suatu waktu majikan saya tertawa tanpa alasan…tertawa terbahak-bahak sampai meneteskan air mata…saya jadi kuatir dibuatnya…Sepertinya majikan saya semakin menggila saja…

Suatu waktu kemudian, majikan saya menangis tanpa alasan…menangis tersedu-sedu sampai napasnya tersengal-sengal…saya makin kuatir padanya…Sepertinya majikan saya sudah benar-benar gila…

Pagi ini majikan saya mengajak  berbicara dari hati ke hati…saya harap dia ingin menghentikan kegilaannya lalu kembali normal seperti biasa…tapi pada akhirnya dia malah berteriak-teriak memaki saya…kali ini saya takut dibuatnya…majikan saya makin parah gilanya…

Majikan saya suka sekali berteriak-teriak…teriakannya macam-macam…dari geraman hingga caci-maki…membikin saya tertekan hingga merasa ngeri…

Hingga akhirnya saya jadi makin takut dan kalut…sudah saya coba banyak hal agar majikan saya senang…tapi mendadak kegilaan majikan saya makin bertambah parah…Majikan saya kini tak hanya berteriak atau memaki…

Majikan saya suka sekali memukuli saya…alat pukulnya macam-macam…dari sapu sampai kursi…membikin saya memar hingga patah tulang…Majikan saya seperti setan…

Majikan saya suka sekali menyiksa saya…siksaannya macam-macam…dari guyuran air panas hingga pisau dapur yang kini bersarang di perut saya…Majikan saya seperti setan gila yang hilang kendali…sepertinya sebentar lagi saya akan mati…dan semua akan terhenti sampai di sini…

June 13th, 2006

Bagimu Perempuanku…

      Bagimu perempuanku… kan kuberikan cinta dan seluruh hidupku… kan kupersembahkan keindahan pada sinar auramu… sebab tanpamu aku hanya seonggok bebatuan semu… tanpamu aku hanya secuil dedaunan layu…
      Bagimu perempuanku… kan kusematkan bulan dalam kilau matamu… kan kutebarkan bintang pada lembut senyummu… sebab tanpamu aku mati kaku… tanpamu aku terbelenggu bisu…
     Bagimu perempuanku… kan kulewati seribu waktu menumpu… kan kujalani dinginnya malam membeku… sebab denganmu aku mampu menyempurnakan jiwaku… denganmu aku mampu melengkapi rinduku…
      Bagimu perempuanku… cumbu aku bersama syahdumu…


January 15th, 2006

Sajak Untuk Sang Malam

 


Aku terhempas lepas diantara tumpukan lembut salju-salju putih,
saat lembut sapuan jemarimu tak ada lagi di sampingku. 
Lalu aku tersadar diantara dinginnya sang malam yang makin jauh bersama pekatnya.
Aku ternggelam bersama badai waktu yang mengganas menebas peluh-peluhku yang kian deras.
Aku terjatuh jauh… saat sang malam kian menghilang.
Satu diantara detik yang berjalan makin cepat menebarkan duri-duri panas berapi yang perih menggores ujung-ujung kulitku dan aku terluka bersama deritaku.



January 2nd, 2006

SEBUAH PERCINTAAN

 


            Suatu waktu ketika langit mendung kelabu… malam mengaku dengan seribu ragu yang bertumpu… malam terpaku oleh berjuta bintang-bintang layu… malam begitu sayu… malam begitu pilu…

            Malam telah mengakhiri percintaannya dengan sang siang… percintaan yang telah mereka jalin dengan benang panjang… pencintaan yang pada akhirnya hanya tinggal sebuah kenang… percintaan antara sang malam dan sang siang…

            Syahdan ketika semua seharusnya terlihat indah… sang siang malah menengadah mengagumi sosok yang lebih mewah… sang siang terpesona oleh aura senja yang terlihat amat megah… lalu yang tersisa diantara sang malam dan sang siang hanyalah sebuah kisah…

            Dalam beku malam membisu… dalam bisu malam merindu… dalam rindu malam tersedu…

            Hadirnya sebuah percintaan diantara mereka telah membawa luka… hadirnya sebuah percintaan diantara mereka telah membawa duka… hadirnya sebuah percintaan diantara mereka telah mengusir suka…

            Sang malam harus bisa menerima semuanya… melebur rasa cintanya… mengubur kenangan manisnya… menyembuhkan derita pahitnya… memulai hidup barunya…

            Dalam beku malam membisu… dalam bisu malam merindu… dalam rindu malam tersedu…

            Sebab kini sang siang bukan lagi miliknya… sang siang bukan lagi kekasihnya… sang siang bukan lagi bagiannya… dan sang siang tak lagi mencintainya…

            Sebuah realita yang menghimpit… sebuah kisah cinta yang sulit… sebuah petaka yang berbelit… sebuah percintaan yang pahit…


            Namun terimalah… sebab sang siang tak mampu lagi untuk mengalah… sang siang tak bisa lagi untuk berpasrah… sang siang telah lama lelah… Sebuah percintaan ketika sang malam harus mengaku kalah… sebuah percintaan dimana cinta berakhir musnah…






(1 Januari 2006)




Sayangku…

 



Sayang… saya mencintaimu karena saya memang menginginkannya. Bukan karena saya jatuh hati, atau karena cinta pada pandangan pertama. Namun, karena saya memang benar-benar menginginkannya.


Sayang… kau adalah lelaki ke-30 yang telah saya cinta. Melalui hati, melalui pikiran, melalui jiwa. Karena saya memang menginginkannya. Bukan karena saya merasa harus, atau karena saya terpaksa. Namun, karena saya memang benar-benar menginginkannya.


Sayang… selama tigapuluh bulan ini saya telah menjelajah banyak hati dari kaummu. Dan saya merasa sangat mengharapkanmu. Karena saya memang menginginkannya. Saya mencintaimu. Dan itu yang saya mau.


Sayang… biarkan saya tetap merasakannya. Sebab saya menyukainya. Saya menikmatinya. Saya ingin mempertahankannya. Namun saya enggan memilikinya.


Sayang… cinta itu kejam, cinta itu jahat, cinta itu licik. Cinta selalu membawa kita pada piriran-pikiran yang picik. Selalu membuat kita menderita dalam tiap-tiap detik. Selalu membuat kita haus akan kasihnya yang hanya setitik.


Sayang… saya mencintaimu karena saya memang menginginkannya. Bukan karena tak sengaja. Bukan karena tiba-tiba. Namun karena saya memang benar-benar menginginkannya juga karena saya sangat takut akan deritanya.





(Jogja, 1 November 2005)

Tentang Lelaki

 


Lelaki adalah sosok terindah yang diciptakan Tuhan. Dimulai dari tiap lekuk tubuhnya… hingga perangai-perangainya. Sangat indah hingga membuat saya selalu terpana. Atas ciptaan-Nya yang satu ini saya sangat bersyukur.


Lelaki dari berbagai macam jaman. Lelaki dari berbagai macam bentuk. Lelaki dari berbagai macam warna tubuh. Atau pun lelaki dari berbagai macam negeri. Saya sangat mengaguminya. Saya sangat memujanya.

Lelaki adalah sosok terindah yang dicipkana Tuhan. Sebab lelaki selalu megah dengan kuasa-kuasanya. Selalu menawan dengan tingkah-lakunya. Selalu rupawan dengan auranya. Atas ciptaan-Nya yang satu ini saya sangat bersyukur.


Karena lelakilah saya ada. Juga karena lelakilah saya merasakan orgasme saat bercinta. Karena lelakilah saya menjadi seorang pemuja. Saya sangat menyukainya. Saya sangat mencintainya.


Lelaki selalu mebuat dada saya berdegup kencang. Lelaki selalu membuat keringat saya mengucur deras. Lelaki juga selalu membuat saya merintih nikmat saat sedang bercumbu. Saya sangat menginginkannya. Saya sangat mengharapkannya.


Lelaki adalah sosok termewah yang diciptakan Tuhan. Sebab tanpa lelaki saya takkan lengkap. Tanpa lelaki saya bukanlah apa-apa. Dan tanpa lelaki saya adalah kematian. Atas ciptaan-Nya yang satu ini saya sangat bersyukur.


Tuhan, terima kasih karena Kau menciptakan Adam di samping Hawa. Terima kasih karena kau menciptakan saya di antara lelaki. Terima kasih karena kau membuat semuanya nyata.






(Jogja, 1 November 2005)

Untuk kekasih…



Kekasih……
Saya ingin terbang bersamamu……
Mengepakkan sayap-sayap mungilku……
Menapaki awan-awan rindu……

Kekasih……
Saya ingin bercinta denganmu……
Memeluk erat kekar tubuhmu……
Menikmati kehangatan aura sukmamu……

Kekasih……
Saya ingin terus mencintaimu……
Mengalunkan debaran jantung dengan merdu……
Mempersembahkan seluruh hidupku padamu……

Kekasih……
Saya ingin selalu memujamu……
Sebagai makhluk terindah di mataku……
Sebagai sosok termegah di hatiku……

Kekasih……
              Kekasih……
                            Kekasih……
                                          Saya ingin merengkuhmu……
                                                       Menyatukan diri denganmu……
                                                                     Walau saya tak pernah memilikimu……
                                                                                   Walau saya enggan memilikimu……


(Jogja, 25 Oktober 2005)

Maka Ijinkan Saya Menikmatinya………

             Sering kali saya merasakan cinta. Bukan hanya sekali atau duakali saja. Namun tak juga saya merasa jera. Padahal cinta selalu membawa saya pada derita. Cinta selalu membawa saya pada luka. Walaupun terkadang penuh dengan bunga-bunga asmara, tapi ada kalanya berbuah duka. Dan tak juga saya merasa jera.


            Seandainya kau tahu…kau adalah salah satu pembawa rasa itu. Kau bagaikan secercah indah warna biru. Namun juga duri yang sering kali menusuk kalbu. Kau yang membuat saya termangu… membuat saya merindu… juga membuat saya layu.


Karena itulah saya mempertahankannya. Agar saya bisa mempertahankan nyawa. Agar saya bisa tetap berkarya. Juga agar saya bisa menikmatinya.


         Saya pernah bercerita tentang kemuakan saya pada cinta. Dan semua itu benar adanya. Sebab ketika saya terluka begitu dalamnya, maka kemuakan itu hadir mengisi relung jiwa saya. Namun saya tak juga merasa jera. Sebab ada kalanya saya membencinya. Ada pula kala ketika saya benar-benar kecanduan olehnya. Padahal semua dukanya selalu membawa saya pada nestapa. Dan tak juga saya merasa jera.


            Bila saja kau tahu… kau adalah salah satu pembawa cinta itu. Kau bagaikan alunan merdu sebuah lagu. Namun juga racun yang sering kali membuat lidah saya kelu. Kau yang membuat saya tercandu… membuat saya meragu… juga membuat saya rindu.


            Karena itulah saya mempertahankannya. Agar saya bisa mempertahankan nyawa. Agar saya bisa tetap berkarya. Juga agar saya bisa menikmatinya.



            Tiap kali saya bernapas, maka tiap kali pula saya merasakan hadirmu dalam tiap aliran udara. Tiap kali saya terluka, maka tiap kali pula saya menemukanmu dalam tiap goresan perihnya. Tiap kali saya merasakan suka, tiap kali saya merasa duka. Kau selalu merasuki jiwa saya.


            Yang saya inginkan adalah kehadiranmu dalam tiap mimpi saya. Keberadaanmu dalam tiap hembusan napas saya. Keindahanmu yang membuat saya terpesona. Keangkuhanmu yang saya suka. Sebab saya menikmatinya. Saya sangat menikmatinya.


            Menikmati tiap warna yang kau torehkan. Menikmati tiap duri yang kau tusukkan. Menikmati tiap lagu yang kau alunkan. Menikmati tiap tetes racun yang kaualirkan. Menikmatinya hingga saya benar-benar dimabuk angan-angan.

            

            Kehadiranmu telah menelanjangi saya dalam rasa cinta. Kehadiranmu telah melacurkan saya dalam rasa hina. Namun, karenamulah saya memuja segalanya. Maka ijinkan saya menikmatinya…








(Jogja, 25 Oktober 2005)

Kepada Sang Waktu…

kepada sang waktu inginku bercerita…
tentang sesosok pria yang kupuja…
tentang hati ini yang telah lama tergoda…
tentang cinta…dan hanya cinta…

kepada sang waktu inginku meminta jeda…
agar debaran ini tak lagi terasa…
agar jiwa ini tak lagi gulana…
agar tentram…dan hanya tentram…

kepada sang waktu inginku bercinta…
dengan pria yang berbeda…
dengan cumbuan yang tak sama…
dengan siksa yang kusuka…dan hanya siksa yang kusuka…

kepada sang waktu inginku bertemu…
ketika malam tak lagi termangu…
ketika jiwaku tak lagi membeku…
ketika kisah cintaku tak lagi layu…

sebab hanya kaulah yang mampu…
membawanya ke sisiku…
mengikatnya pada auraku…
menghentikan perputaranmu…

hingga pria itu menoleh padaku…
pria itu mulai mengenalku…
pria itu mulai memahami cintaku…
lalu pria itu mulai membuka hatinya untukku…

kepada sang waktu inginku tetap begini…
walaupun jiwa terasa pedih dan sunyi…
walaupun kau menusukkan berjuta duri…
walaupun hanya dalam mimpi…dan hanya dalam mimpi…

sebab saya jatuh hati…
sebab saya cinta mati…

 

October 25th, 2005

Saya Benar-benar Dimabuk Lelaki…

        Semalam saya memimpikannya lagi… kali ini dia terlihat lebih nyata dan lebih hangat. Tubuhnya yang gagah… membuat saya memimpikan cintanya yang megah… wajahnya yang cerah… membuat saya memimpikan pagi yang indah…

        Ketika saya mencoba membayangkan wajahnya… mendadak saya merasakan sengatan cinta… namun ketika saya membayangkan tubuh indahnya… yang saya rasakan adalah pelukan hangatnya yang bahkan untuk terangsang pun saya tak tega. Sebab saya benar-benar sedang dimabuk lelaki!!

        Cinta yang gila itu membuak perangai saya berubah seketika. Saya yang tadinya tak punya malu… tiba-tiba memerah saat bertemu pandang. Saya yang tadinya bergaya seenaknya… tiba-tiba berubah kalem ketika melihatnya di dekat saya. Saya sebenarnya tidak suka jatuh cinta. Sebab dengan merasakannya berarti saya akan menjadi orang lain yang bukan saya lagi. Saya tidak mau itu terjadi. Tetapi, setelah berkali-kali saya merasakannya… saya pun mulai kecanduan!! saya ingin lagi… lagi… lagi… dan lagi… saya mulai ketergantungan. Saya benar-benar dimabuk lelaki!!
       
        Ketika saya mencoba membayangkan bibirnya yang tebal… mendadak saya merasakan panggutannya yang kenyal… namun ketika saya mencoba membayangkan sentuhan tangannya… yang saya rasakan adalah rindu yang kental… Saya benar-benar dimabuk lelaki!!

        Untuk sang lelaki yang memabukkan saya… berikan candumu pada saya!! Agar saya bisa bertahan hidup walau hanya dengan memandangimu saja. Walau sepatah kata pun kita tak pernah saling berucap satu sama lain… Keindahan dan kemegahanmu membuat saya merasa hina di depanmu, namun sekaligus membuat saya merasa sangat pantas menjadi bagian dari hidupmu…

        Untuk sang lelaki yang memabukkan saya… sadarlah bahwa saya benar-benar tengah dimabuk oleh pesonamu… dimabuk oleh kelaki-lakianmu. Sedemikian mabuk hingga saya berubah menjadi sosok yang sangat perempuan. Sedemikian mabuk hingga saya berubah menjadi pemujamu… Sangat mabuk hingga saya berubah menjadi bidadari pencinta…

        Sebab saya benar-benar sedang dimabuk lelaki… maka ijinkan saya untuk tak memungkiri…

 

October 15th, 2005

Dia Hanya Masturbasi Saja…

        Langit kemarin malam terlihat indah… penuh dengan pernak-pernik bintang yang megah… kini yang Julia rasakan dalam dada adalah gundah… dia merasa dalam hatinya ada yang salah… walau pada akhirnya dia hanya bisa pasrah…

       Ketika sedang sendirian, Julia mulai berkhayal macam-macam… Mengkhayalkan sosok idamannya… Menghkhayalkan kehangatan tubuh lelaki perkasanya… Kemudian Julia tak kuasa lagi menahan diri untuk tidak menggesekkan kemaluannya pada bantal… Julia sedang gila cinta dan dimabuk birahi…

        Kembali dia mengingat-ingat malam itu… Ketika lelakinya memberikan senyuman padanya… ketika lelakinya mengucapkan sapaan pertamanya… ketika lelakinya membalas emailnya… Julia tergetar dan terisak antara haru dan bahagia… padahal dalam kasus ini seharusnya dia bahagia seperti perempuan-perempuan lainnya yang akan ketawa-ketiwi tanpa sebab, yang akan menyebut-nyebut nama lelaki mereka… Namun Julia sangat berbeda… yang dia inginkan bukan hanya cinta saja… Julia juga menginginkan raga yang saling menyatu padu…

       Dalam isak tangisnya Julia tersenyum… hingga pada akhirnya dia mengerang senang… dia telah mendapatkan orgasmenya… Julia puas. Walau bercinta tanpa lelakinya… walau bercinta hanya dengan bantal… walau dia hanya masturbasi saja… dan baginya itu tak mengapa.
        Dua malam kemudian Julia berjumpa dengan lelakinya. Bukan pertemuan yang tak disengaja… sebab Julia memang sengaja ke tempat kerja lelakinya sambil berpura-pura hendak menyewa film. Dan pada akhirnya percakapan pun dimulai. Julia dan lelakinya tengah berbasa-basi mengenai film box office. Beberapa menit kemudia mereka berbicara tentang kuliah. Lalu malam pun terlalu larut hingga dengan terpaksa lelakinya menawarinya pulang bersama. Julia sangat bahagia… tak-tiknya berhasil pada langkah pertama.

        Langkah keduanya sedang dipertimbangkan… sebab Julia takut lelakinya akan menolak dan menganggapnya sebagai perempuan gampang. Padahal bukan begitu… Julia hanya mau bercinta dengan lelaki yang dicintainya saja. Julia masih perawan walau hampir tiap malam dia masturbasi. Pikiran Julia melayang jauh pada kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Baru kali ini Julia jatuh cinta. Julia jatuh cinta pertama kali di usianya yang ke duapuluh dua. Lalu kemana saja hatinya selama ini?

       Kegagalan pada langkah kedua pun terjadi… Julia tak berani. Bukan karena dia perempuan lalu dia takut memulai. Namun karena dia benar-benar cinta pada lelakinya dan takut kehilangan kesempatan untuk kedekatan yang lain. Lalu kembali seperti sedia kala… seperti malam-malam biasanya… Julia bercinta dengan bantal… seorang diri di kamar kostnya. Dia hanya masturbasi saja.
        Kawan-kawannya selalu bilang kalau Julia gila. Bukan gila yang sebenarnya, namun gila dalam artian yang biasa dicandakan oleh anak-anak muda pada umumnya. Mereka bilang Julia gila karena Julia terlalu mengagumi lelakinya… mengagumi tubuh gagahnya… mengagumi wajah maskulinnya… mengagumi cara berjalannya… mengagumi cara bicaranya… mengagumi segalanya yang dimiliki lelakinya… dan sayangnya lelakinya tak pernah tahu dan tak pernah menyadarinya. Sebab bagi lelakinya Julia hanya teman biasa. Teman kampus saja. Teman kampus yang pernah mengirimi email tentang solidaritas remaja kampusnya. Tak lebih dari itu.

        Lelakinya tak pernah tahu apa yang biasa Julia pikirkan… apa yang biasa Julia harapkan… Apa yang biasa Julia khayalkan ketika sedang masturbasi di kamar kostnya… bahkan tentang masturbasi pun lelakinya tak pernah akan menyangka. Sebab hanya Julia yang tahu… hanya Julia, bantalnya, dan dinding putih kamar kostnya saja yang tahu…Tak mengapa bagi Julia sebab dia hanya masturbasi saja… 

        Lalu kembali seperti sedia kala… seperti malam-malam biasanya… Julia bercinta dengan bantal… seorang diri di kamar kostnya. Dia hanya masturbasi saja… dan baginya itu tak mengapa.

 

October 13th, 2005
 

Kepada Sang Malam Saya Melacurkan Diri

             Kemarin malam saya melihat bulan begitu indah… bintang-bintang yang mengitarinya pun terlihat cantik dan genit. Kenyataan itulah yang membuat saya jatuh hati pada sang malam… bukan hanya karena kemegahan sosoknya… namun lebih karena keanggunan jiwanya…

            Malam itu seperti malam-malam sebelumnya saya kembali menyerahkan diri kepada sang malam… dan sang malam dengan gagahnya akan menjamahi tubuh saya hingga terpuaskan nafsu kejantanannya… lalu setelah semua berakhir, sang malam akan membayar saya dengan taburan pernak-pernik yang menghiasi tubuhnya… taburan bintang nan bermahkota purnama…

            Sudah beberapa malam saya melacurkan diri pada sang malam… memuaskannya sebagai pelayan… juga melayaninya sebagai pemuas… saya bahagia. Tidak menyesal sedikit pun. Sebab sang malam membayar saya dengan harga yang pantas.

            Malam ini saya hadir kembali dengan gaun senja dan mahkota mega… saya ingin terlihat lebih cantik dari biasanya… saya mencuri gaun dari sang surya… dan meminjam mahkota dari sang cakrawala… bibir saya dipoles dengan gincu aurora… dan tubuh saya disemprot dengan parfum nirwana… saat mengaca saya terlihat bak dewi senja… mempesona tiada tara… atau mungkin yang mempesona itu sebenarnya hanya busana saya saja ya? Ah… tidak mengapa! Sebab saya sangat jatuh cinta… dan saya ingin sedikit merasakan bahagia…

            Saya pun menantikan sang malam di tempat biasa… di batas cakrawala berteman burung-burung gereja yang hendak mencari persinggahannya… saya menantinya sambil bersenandung ria… hingga perlahan sang surya mengucapkan kata “sampai jumpa esok!” dan burung gereja tak lagi tampak kepakannya… pada akhirnya saya sendirian menanti kekasih hati saya…

            Lama saya menanti namun malam tak kunjung datang… hari telah setengah-setengah berangsur petang… belasan bahkan puluhan lagu saya berdendang… namun malam tak kunjung datang… hingga akhirnya pada saat sang senja terbang menghilang… sang malam pun datang…

          Dengan wajah cemberut saya memarahinya…

Kau terlambat tiga jam, ungkap saya…

Aku tak pernah telat syakuntala, balasnya pada saya…

Tapi saya sudah menunggumu sejak tiga jam yang lalu…

Kau masih belum mengenaliku syakuntala…

Apa maksudmu mengatakannya?

Ya…tadi bukanlah senja… namun mendung yang menyamar menjadi senja…

Hah?

Lihatlah gaun yang kau kenakan!

Saya memandangi gaun itu dengan heran bercampur kaget… gaun yang tadinya indah dan senja berubah menjadi kelabu pekat… saya pun tercekat… saya ingin segera melapaskannya jika masih sempat… namun semua terlambat…

Ketika saya mengagumi sang malam… ketika saya melacurkan diri pada sang malam… mendung memperhatikan saya dan mulai menaruh kagum… dia merencanakan semua agar dengannyalah saya akan tenggelam… dan kini saya terjebak dalam auranya yang kelam…

Kepada sang malam saya melacurkan diri… dan kepada sang kelam saya terakhiri…


October 11th, 2005

Ketika Saya Memimpikan Surga

Terkadang saya mengkhayalkan keindahan surga yang ada di atas kayangan sana. Sungai-sungainya yang mengalirkan air susu, pohonnya yang memiliki aneka macam buah-buahan, warnanya yang didominasi putih, serta bidadari-bidadari yang nyaris telanjang hilir mudik melayani para penghuninya.
Saat saya membayangkan wujud surga, saya pun membayangkan nuansa surga dunia, yang berkerlap-kerlip oleh lampu kota. Beriringan dengan suara-suara musik yang membahana. Warna-warni yang berbaur indah dalam balutan busana para wanita. Sungguh memabukkan jiwa.

Entah mana yang harus saya pilih. Surga yang satu artinya saya harus menahan kesenangan dunia, namun bila surga yang satunya lagi saya harus merasakan siksa di akhir cerita. Sungguh dilemma. Padahal saya ini manusia berjiwa pengembara. Saya berjiwa bebas dan suka kemana saja. Namun bila begini ceritanya, berarti saya harus benar-benar memikirkannya. Bukankah seharusnya untuk memiliki jiwa yang sehat manusia harus berhati senang dan bahagia. Nah, kalau begitu seharusnya kesenangan di dunia itu dihalalkan saja. Tapi, apa boleh dikata, bila Tuhan berkehendak lain, maka yang ada nanti bisa-bisa saya jadi temannya para iblis penghuni neraka. Tapi saya ingin benar mencicipi yang ada di sini, lalu pindah ke yang di atas sana. Apa tidak ada cara lainnya? Wah, mengapa saya malah tawar-menawar begini ya?
Kalau mencoba di sini, nantinya tidak boleh mencoba yang di sana. Begitu pula sebaliknya. Atau saya mencoba yang di sini dulu, lalu bila puas saya akan bertobat, dan tentunya saat mati nanti pada akhirnya toh, saya bisa mencoba yang di atas juga. Licik ya? Tapi manusia memang diciptakan demikian dan sudah menjadi suatu realita klasik bila tak ada manusia di dunia ini yang tidak memiliki sifat licik sebab itu sangat biasa. Dengan sifat licik pun manusia bisa lolos masuk surga. Sudah tentu bila saya sedikit licik saya juga bisa masuk surga. Sekedar menengok sebentar juga tak mengapa. Saya hanya penasaran pada bentuknya saja. Mungkin bila nanti surga buka lowongan untuk posisi tertentu saya bisa melamar dengan memasukkan CV saya. Bukankah keren bila saya pakai nametag yang bertuliskan ‘resepsionis surga’ atau bila pangkat itu berlebihan maka bisa juga sebagai ‘petugas kebersihan surga’ menurut saya dua-duanya sama kerennya. Dan dengan begitu saya bisa dengan bebas keluar-masuk surga.

Tapi, bila saya mulai tersadar dengan lamunan saya, maka semuanya akan terdengar lucu dan tak terduga. Hanya saja, untuk ide yang terakhir tadi saya agak setuju juga lumayan percaya. Sebab part time job kan saat ini sedang tren di mana-mana. Kalau siang di siksa di neraka, lalu kalau malamnya bekerja di surga. Tak masalah bila memang harus begitu adanya. Sebab surga itu ibarat planet pluto nun di sana. Saking jauhnya maka untuk sampai ke sana pun hanya mimpi belaka. Eits! Tunggu dulu, bukankah seharusnya surga yang selalu di jadikan perumpamaan bahasa? Seperti surga di bawah telapak kaki bunda. Berarti besok bila saya jadi kerja di sana maka sama saja saya jadi tukang bersih-bersih kaki bunda. Kalau begitu sih, mudah saja. Hanya saja, saya takut kalau nanti, surga tidak membutuhkan tukang bersih-bersih karena telapak kaki bunda mudah geli dan gampang terluka. Bisa-bisa kalau saya sapu, surga akan gempa bertahun-tahun lamanya. Berarti saya harus mempertimbangkan posisi lain yang mungkin akan ditawarkan di sana. Tukang kebun misalnya. Itu lumayan juga. Saya bisa ikut-ikutan makan buah-buahan yang beraneka rupa dari satu pohon saja. Wah, itu baru keren namanya. Berarti saya harus latihan menjadi tukang kebun mulai sekarang. Memangkas sini lalu memangkas sana. Memupuk kemudian menyirami bunga. Itu sih tidak sulit, pasti saya langsung bisa.

Nah, karena rencana-rencana saya sudah tersusun rapi, maka ini saatnya untuk menjajal surga dunia. Jangan khawatir, saya tidak akan kebablasan di dalamnya. Sebab begini-begini saya ini terkenal pintar menjaga diri saya. Karena itulah ibu saya sangat membebaskan saya dalam hal apapun juga. Termasuk uang misalnya. Yah, yang terakhir ini yang jadi masalah pelik saya. Kalau mau membebaskan anak seharusnya tidak perlu bebas seluruhnya? Lantas dari mana saya dapat uang untuk melang-lang buana di surga dunia? Huh! Sekali lagi, tidak hanya di surga sungguhan, melainkan di surga dunia pun saya harus melakukan part time job juga!



 

July 21st, 2005

Saya Muak Akan Cinta…!!!

Sudah sejak lama saya merasakan perasaan ini. Entah saya boleh menyebutnya sebagai cinta atau ini hanya perasaan biasa saja. Kadang kala saya merasakan debaran tak terhingga… namun ada kalanya pula saya merasa hampa. Tapi, saya tak pernah mampu mengusirnya dari benak saya. Saya juga tidak mampu menggantikan wajahnya dengan wajah-wajah lain yang ada dalam pikiran saya. Untuk melupakannya saja bisa membuat saya makin tersiksa… apalagi bila harus tetap menyimpannya. Saya sangat heran dengan perasaan yang ada dalam benak saya ini. Cukup memusingkan.
Pernah saya mencoba untuk mengingatnya terus-menerus… mengenangnya… lalu selalu menyebutkan namanya… Namun, yang saya dapatkan hanya kekosongan jiwa. Seolah semua tentangnya sangat berbalikan dengan hati saya. bila diinginkan akan menghilang dan bila dihilangkan justru menambah keinginan. Seperti teka-teki. Hampir seperti cinta dan rindu. Hampir seperti luka dan suka. Saling berbalikan namun saling berkaitan.

Suatu hari pernah saya mencoba hal yang lebih denganya. Saya mulai merayunya dan dia pun menerima rayuan saya dengan tangan terbuka. Saya hanya ingin tahu lebih jelas tentang perasaan ini. Saya hanya ingin memastikan saja. Lalu saat semuanya berjalan lancar… tiba-tiba hati saya berpindah haluan. Perasaan saya berganti arah. Permainan yang saya mainkan malah berbalik memainkan saya. Cerita yang saya buat malah berubah bagian yang diceritakannya. Semua parah. Payah. Tak masuk akal, tak sesuai nalar, diluar kesadaran. Sepertinya saya terperangkap dalam perangkap yang saya buat sendiri. Sepertinya saya benar-benar jatuh cinta padanya. Dan mungkin suatu saat saya akan berubah gila.

Kalaupun saya bisa melanyangkan gugatan pada dewa asmara… tentang panahnya yang berubah jadi bumerang dan melibas hati saya itu. Sepertinya saya hanya bisa menerima saja. Saya hanya bisa mengalah. Sebab dalam hal ini saya memang sangat kalah.
Saya sangat muak akan cinta. Karena tiap kali saya mencinta… saya selalu merasakan derita. Tiap kali saya mencinta… saya selalu merasakan luka. Dan tiap kali saya mencinta… saya selalu merasakan siksa.

Padanya yang ada di sana… padanya yang tanpa sadar telah saya cinta… padanya yang memberi saya luka… dan padanya yang membuat saya gila… ini adalah cinta yang saya rasakan. Ini adalah cinta yang saya rangkai. Cinta yang saya hiasi dengan darah dan peluh saya. Cinta yang hanya baginyalah saya bisa berkorban asa.

Padanya yang ada di sana… padanya yang tanpa sengaja telah saya puja… padanya yang menambah nyawa saya… dan padanya yang menciptakan asmara… ini adalah cinta yang saya rasakan. Ini adalah cinta yang saya susun. Cinta yang saya nodai dengan benci dan dendam. Cinta yang hanya baginyalah saya pertahankan nyawa.

Padanya yang ada di sana… saya telah lama jatuh cinta di tengah perasaan muak saya akan cinta.


July 16th, 2005