Selasa, 28 September 2010

Kesusahan Ini Sangat Menyusahkan!

Dari kecil saya sudah terbiasa hidup susah. Jadi kalau sekarang saya hidup susah, tidak akan susah bagi saya untuk menjalaninya. Tidak! Bukan berarti saya menikmati kesusahan saya. Bukan berarti saya merasa wajar untuk hidup susah. Saya tetap berusaha bagaimanapun caranya agar bisa terlepas dari kesusahan.

Dulu kami hidup menumpang di rumah simbah. Mama saya bekerja mati-matian agar anaknya bisa makan dan sekolah. Pernah ada masanya mama jadi orang kaya yang mampu sedikit bermewah. Bisa membeli mobil bekas dan menyewa rumah. Tapi roda selalu berputar dan kembali kami harus hidup bersusah. Tak mengapa karena ini hanya sementara, nanti pasti saya bisa hidup mewah.

Saat benar-benar susah dulu, mama saya pernah menangis karena tak ada lagi uang untuk makan esok hari. Semua habis untuk membayar pangobatan bapak saya yang sakit tapi tak sembuh juga. Uang suambangan dari lelayu juga tak bisa menutup hutang di rumah sakit. Hutang yang bernilai jutaan padahal saat itu tahun 80an dengan 100ribu kita bisa membeli sepeda motor. Tapi sesalu ada berkah. Saat susah dan sedih selalu ada malaikat berwajah manusia datang membantu kami. Membantu dengan do’a pun dengan materi.

Saya bukan anak yang baik. Karena itu sejak kecil saya sering mendapatkan hukuman atas kenakalan saya. Kadang saya dipukul, atau dikurung di kamar mandi. Tak mengapa karena saya nakal wajar mendapat hukuman!
Saat ibu saya menikah lagi dengan seorang perjaka tua pun bukan berarti kami tak lagi susah. Karena si pria suka minta uang untuk kesenangannya. Suka memukul saya bila saya tak patuh. Dan saya pikir mungkin begini rasanya punya ayah. Hampir tiap hari dipukul bila bersalah. Sebab saya memang selalu bersalah.

Pada perceraian mama saya dengan si pria, saya merasa sangat bahagia. Cukup satu orang saja yang memukul saya. Jangan lebih. Saya tak mampu jika menahan dua.
Lalu hidup saya pun tak kunjung lepas dari susah. Sepertinya kesusahan selalu melekat pada saya. Ya ya…saya memang mudah mengeluh. Tentunya banyak di antara anda yang pernah atau tengah merasa kesusahan yang jauh lebih parah dari punya saya. Anggaplah keluh kesah saya ini sebagai kisah. Untuk cerita sekedar penghibur bahwa ada orang yang demikian manjanya menghadapi susah dengan tak pasrah.

Benar adanya kalau saya bilang kuliah saya berantakan karena uang. Saya harus drop out lalu berusaha menabung untuk kuliah saya yang lain. Semua hanya karena secarik kertas yang nantinya akan saya pamerkan pada anak saya. Bukan untuk saya mencari kerja. Dari awal planning saya adalah membuat pekerjaan. Itu satu-satunya cara untuk bisa kaya. Bersusah-susah dahulu. Bergagal-gagal dahulu. Lalu nantinya saya akan memetik buah dari kerja keras saya. Atau jika bukan saya maka anak-anak saya yang harus menikmatinya.

Beginilah yang bisa saya bagikan untuk sekedar acuan bagi anda semua. Acuan bahwa sedikit berkeluh kesah itu tak apa, asal tidak berlebihan dan mendatangkan dengki. Saya hanya bercurah isi hati tentang kesusahan saya yang menyusahkan ini. Tak mengapa jika sejak awal anda sudah jengah. Setidaknya anda membacanya dari awal hingga akhir. Ya. Lihat anda bahkan masih membacanya sampai titik akhir. Mari kita tertawa.

Jogja, 17 May 2010

Cerita Dari Sahabat

Suatu pagi yang sibuk, seorang sahabat menelpon saya. Dia seorang wanita, seorang istri, seorang ibu muda, seorang pengusaha, seorang yang selalu tertekan. Saya sedikit prihatin padanya. Lama dia menelpon untuk sekedar bercerita dan mengadu. Sering sekali dia begitu. Saya suka jadi orang pertama yang dia telpon saat-saat dia susah, saat-saat dia senang. Saya merasa berarti dan saya juga merasa dibutuhkan. Itu sangat penting.

Kali ini dia berbagi cerita tentang hidupnya yang penuh tekanan, as always. Tapi saya tak pernah bosan mendengarnya bercerita. Hanya mendengar. Dia pernah bilang kalau saya adalah pendengar yang baik dan selalu memberi semangat di ujung ceritanya. Itu penting baginya. Dia bercerita kalau saat ini suaminya sedang terlibat banyak hutang, yang membuat mereka terpaksa gali lubang tutup lubang hingga akhirnya tak ada lubang lagi yang tersisa untuk digali. Tidak. Dia tidak meminta pinjaman pada saya. Itu jelas tidak mungkin. Dia tahu saya sedang merintis. Belum bisa dibilang sukses. Sekali lagi saya tegaskan, dia hanya bercerita agar saya mau mendengar, dan di akhir cerita saya akan menjawab beberapa tanyanya. Itu saja.

Dia mendapat tekanan dari hutang-hutang itu yang tepatnya adalah hutang suaminya. Dia merasa selama ini dia tak berharga karena tak bisa mencarikan pinjaman dana untuk menutup hutang mereka. Padahal sahabat saya ini bekerja sendirian untuk membangun usahanya. Dan itu yang membuatnya tertekan. Suaminya menegaskan padanya kalau dia tak lebih dari tukang hura-hura. Lalu sahabat bertanya, "apakah salah kalau sesekali aku ingin memanjakan diri atas apa yang selama ini kuraih?"

"Tidak!" itu jawab saya.
"Tapi kenapa aku dipaksa untuk ikut menderita atas apa yang bukan tanggung jawabku?"
"Jangan tanya padaku. Ayo lanjutkan ceritamu."

Ya. Dia melanjutkan ceritanya. Dia terdengar sangat tertekan. Sangat menderita. Memang tipenya sangat rapuh, mudah sekali mencari celah untuk bisa menyakitinya. Saya sangat mengenal sahabat saya ini karena dari kecil kami tumbuh bersama. Beberapa kali saya jadi pengawal pribadinya. Kadang supir pribadinya.

Pada akhir cerita dia bilang: "Salahkah aku kalau aku memilih untuk tidak peduli atas semua perlakuan suamiku?"
"Tidak!" jawab saya lagi. "Kamu berhak untuk bahagia atas apa yang kau raih. Kamu berhak terbebas dari semua tekanan yang ditujukan padamu, karena kamu tidak bertanggung jawab untuk itu."
"Lalu aku harus bagaimana?"
"Perbaiki mentalmu. Dengan begitu kau akan terbebas dari semua tekanan walau tekanan itu nyata-nyata membebanimu."

Lalu saya bertanya pada anda semua, apakah salah kalau saya berkata demikian?