Selasa, 28 September 2010

Cerita Dari Sahabat

Suatu pagi yang sibuk, seorang sahabat menelpon saya. Dia seorang wanita, seorang istri, seorang ibu muda, seorang pengusaha, seorang yang selalu tertekan. Saya sedikit prihatin padanya. Lama dia menelpon untuk sekedar bercerita dan mengadu. Sering sekali dia begitu. Saya suka jadi orang pertama yang dia telpon saat-saat dia susah, saat-saat dia senang. Saya merasa berarti dan saya juga merasa dibutuhkan. Itu sangat penting.

Kali ini dia berbagi cerita tentang hidupnya yang penuh tekanan, as always. Tapi saya tak pernah bosan mendengarnya bercerita. Hanya mendengar. Dia pernah bilang kalau saya adalah pendengar yang baik dan selalu memberi semangat di ujung ceritanya. Itu penting baginya. Dia bercerita kalau saat ini suaminya sedang terlibat banyak hutang, yang membuat mereka terpaksa gali lubang tutup lubang hingga akhirnya tak ada lubang lagi yang tersisa untuk digali. Tidak. Dia tidak meminta pinjaman pada saya. Itu jelas tidak mungkin. Dia tahu saya sedang merintis. Belum bisa dibilang sukses. Sekali lagi saya tegaskan, dia hanya bercerita agar saya mau mendengar, dan di akhir cerita saya akan menjawab beberapa tanyanya. Itu saja.

Dia mendapat tekanan dari hutang-hutang itu yang tepatnya adalah hutang suaminya. Dia merasa selama ini dia tak berharga karena tak bisa mencarikan pinjaman dana untuk menutup hutang mereka. Padahal sahabat saya ini bekerja sendirian untuk membangun usahanya. Dan itu yang membuatnya tertekan. Suaminya menegaskan padanya kalau dia tak lebih dari tukang hura-hura. Lalu sahabat bertanya, "apakah salah kalau sesekali aku ingin memanjakan diri atas apa yang selama ini kuraih?"

"Tidak!" itu jawab saya.
"Tapi kenapa aku dipaksa untuk ikut menderita atas apa yang bukan tanggung jawabku?"
"Jangan tanya padaku. Ayo lanjutkan ceritamu."

Ya. Dia melanjutkan ceritanya. Dia terdengar sangat tertekan. Sangat menderita. Memang tipenya sangat rapuh, mudah sekali mencari celah untuk bisa menyakitinya. Saya sangat mengenal sahabat saya ini karena dari kecil kami tumbuh bersama. Beberapa kali saya jadi pengawal pribadinya. Kadang supir pribadinya.

Pada akhir cerita dia bilang: "Salahkah aku kalau aku memilih untuk tidak peduli atas semua perlakuan suamiku?"
"Tidak!" jawab saya lagi. "Kamu berhak untuk bahagia atas apa yang kau raih. Kamu berhak terbebas dari semua tekanan yang ditujukan padamu, karena kamu tidak bertanggung jawab untuk itu."
"Lalu aku harus bagaimana?"
"Perbaiki mentalmu. Dengan begitu kau akan terbebas dari semua tekanan walau tekanan itu nyata-nyata membebanimu."

Lalu saya bertanya pada anda semua, apakah salah kalau saya berkata demikian?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar