Senin, 12 Desember 2011

Cerita Tentang Pernikahan Saya

Awal menikah saya sudah hamil duluan, saya mendapat banyak perlakuan tidak menyenangkan dari mertua dan ipar saya. Saat itu suami saya tidak bekerja dan terpaksa apapun saya kerjakan demi sedikit uang untuk memenuhi hidup saya. Bagi saya hal tersebut tidak terlalu berat karena dari kecil saya sudah dididik untuk ulet mencari uang. Dan usaha kecil saya yang bermodal menjual hp untuk membeli printer pun saya tekuni. Saya membuat kartu nama. Harga per box 25ribu dengan untung bersih 5rb. Bahkan dengan perut besar saya memotongi lembaran kertas agar jadi seukuran kartu nama, sementara suami saya tidur-tiduran atau main game.

Lalu saat suami saya mendapat pekerjaan dan memperoleh gajinya yang pertama, saya diberinya uang sebesar 50ribu sebulan. Hingga saya harus protes karena nilai 50rb itu terasa sangat menghina, lalu dia pun mulai memberi saya 200rb per bulan. Saya syukuri itu.

Pada hari menjelang kelahiran anak saya, dia masih memilih berangkat ke kantor dan meninggalkan saya sendirian mengerang kesakitan dengan alasan sudah ada janji dengan calon nasabah. Sepulang kerja sekitar masa setelah adzan magrib baru dia menampakkan diri. Memang dia menemani saya di ruang bersalin. Ikut andil dalam proses kelahiran saya. Namun lagi-lagi malam setelah anak saya lahir dia pulang ke rumahnya untuk mengubur ari-ari anak saya. Saya menunggu lama sekali namun dia tak juga kembali ke rumah sakit. Baru kelihatan sesaat setelah adzan subuh karena dia harus sahur di rumah. Sama seperti sebelumnya, hanya sebentar dan dia pergi bekerja. Maka lagi-lagi saya sendirian.

Saya belajar dan berjuang menyusui anak saya sendirian. Yang suami saya pedulikan bukan manfaat dari ASI, namun betapa tak perlu keluar uang kalau saya berhasil memberi anak saya ASI.

Setahun pertama kelahiran anak saya semua kegiatan anak saya yang mengurus apapun kondisi saya. Saat saya sedang sakit pun saya masih harus memandikan anak. Hingga suatu saat saya menangis karena saya merasa sangat lelah saat sakit. Saya bilang padanya untukbelajar memandikan anak karena saat saya sakit saya sangat membutuhkan bantuannya memandikan anak. Barulah dia mau belajar.

Toko online yang saya rintis saat anak saya masih 3bulanan pun membawa berkah. Perjuangan saya yang harus mengambil dagangan dan mengikatnya di jok belakang motor sementara saya menggendong anak pun terbayar. Saya benar-benar mandiri. Bahkan belanja bulanan pun saya atasi. Dari mulai membeli baju, makanan, dan perlengkapan mandipun saya yang berbelanja demi anak saya. Dia masih memberi saya 200rb per bulan. Toko online saya mulai banyak diminati. Dan saya mulai sering terjaga hingga larut malam demi mempersiapkan dagangan saya. Bahkan saat harus menimbangi teh dagangan pun sering kali saya sambi dengan menyusui anak. Ah, tapi usaha saya tak pernah dilihatnya. Dia hanya melihat keburukan-keburukan saya. Dan semua hal baik saya mendadak lebur.

Pada tahun kedua pernikahan kami, dia mendapat modal usaha dari ibu dan kakaknya. Lalu dia mulai bergelut di bidang saham. Entah bagaimana hasilnya yang saya tahu terakhir dia loss dan hanya menyisakan sedikit uang. Lalu dia mulai belajar option trading, sampai mengikuti seminar-seminar dan membeli DVD tutorialnya yang entah berapa uang yang dikeluarkan untuk itu. Dia menggunakan uang sisa dari permainan sahamnya untuk menjajal Option Trading tersebut. Awalnya saya tidak pernah setuju dengan bidang itu. Namun pendapat saya memang selalu dianggap angin lalu olehnya. Pada tahap pertama Option Trading pun dia kalah telak dan menyisakan uang raturan ribu saja.

Tadinya saya kira dia sudah kapok, namun tahun ketiga pernikahan kami pun dia mulai lagi. Kali ini dengan modal pinjaman yang seharusnya saya pakai untuk modal usaha saya dengan seorang kawan. Saya sudah lelah. Maka biarlah. Dan lagi-lagi dia kalah.

Awal tahun ketiga itu saya sudah menyampaikan ultimatum padanya. Jika di akhir tahun dia masih belum ada perubahan, maka saya akan meninggalkannya. Maka benarlah. Saya pergi. Saya menuntut cerai. Sebab saya sudah tak sanggup lagi harus bekerja keras demi suami pemalas yang bahkan tidak tahu merk bedak saya. Saya pergi meninggalkan rumahnya baik-baik dan meminta ijin pada orang tuanya.

Hingga saya mendapat kabar dari kakak saya kalau suami saya menelponnya dan mengeluh banyak hal tentang saya. Tentang saya yang tidak perduli pada anak, tentang saya yang pulang larut, tentang saya yang boros. But hey! Dia lupa kalau saya yang pada akhirnya menjadi tulang punggung. Saya pulang larut karena saya banyak bekerja. Saya Boros karena memang Cuma uang saya yang bias dibelanjakan. Lalu bagaimana? Apa salah jika saya punya impian tinggi dan tak mau berhenti stuck di titik yang sama seperti dia? Saya masih ingin banyak belajar, masih ingin banyak bermimpi. Dan dia hanya bias mengumbar kejelekan saya dengan sosok sok malaikatnya itu.

Tak hanya itu, dia pun bahkan menemui Mama saya untuk mengeluh ini-itu. Sungguh pathetic. Menjadi sosok tak bertanggung jawab dan melempar kebusukan ke orang lain. Saya malu dan menyesal pernah menikah dengannya.

Saya bahkan sudah terlalu lelah mencari uang dan uang demi membeli susu anak saya yang sudah saya sapih saat berumur 2th 3bln. Saya merasa memiliki suami malah menjadi beban saya. Maka saya memutuskan untuk bercerai. Saya memutuskan untuk bahagia.

Kisah ini saya ceritakan karena saya sudah lelah menyimpan. Sudah saya pikirkan. Dan melihat betapa dia saat ini sedang berusaha merusak reputasi saya dengan mengumbar banyak kejelekan saya di depan keluarga saya. Sesungguhnya dia lupa bahwa keluarga saya jauh lebih mengerti saya ketimbang dia.