Kamis, 31 Agustus 2017

Kau yang Bukan Dia

Kau yang ada untuk menjadi penggoda..
Atau aku yang ada untuk mudah tergoda..

Antara kau dan aku entah ada takdir atau tidak..
Hanya getaran yang membuatku bergidik senang saat membayangkan tubuh dan aromamu..

Antara kau dan aku entah mungkin atau tidak..
Hanya khayalan tentangmu yang akhir-akhir ini selalu datang dalam sendiriku..

Kau yang bukan dia..
Sebab kau bukan milikku dan aku bukan milikmu..
Hanya terbiasa dan saling menggoda..
Hingga tiap malam bercinta dengannya kau hadir dalam maya..

Dan kau tetap bukan dia..
Namun tak apa jika sesekali kau menjadi dia..
Dalam khayalku saat bercinta dengannya, maka kau ada..

Senin, 27 Februari 2017

Cinta pada Ketiadaan

Bagaimana mungkin kita bisa mencintai suatu ketiadaan?

Bagaimana mungkin kita bisa bercumbu dengan cinta?

Bila yang terjadi saat ini adalah kau pergi, aku sendiri. Dan cinta malah mulai menggerogoti hatiku macam kutu busuk di kasur tua kita.

Lagi-lagi permainan hati membuat manusia menjadi setengah gila. Dan kau pergi, aku sendiri. Tapi getaranmu tak kunjung menghilang dari dadaku.

Bagaimana mungkin kita bisa mencintai suatu ketiadaan?

Sebab kau fana dan aku nyata. Kau mimpi dan aku kini. Kau kau kau.. Aku aku aku..

Cinta, gila. Gila, cinta.
Ada tiada. Tiada ada.
Bagaimana mungkin?

Sabtu, 04 Agustus 2012

Where should I go now?

Maka sekarang hidup saya bermulai dari awal. Menjadikan angka-angka sebelumnya lebur dan kembali ter-restart 'nol'. Jika di lagu lama itu tersyairkan 'pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku' maka saya pulang kepada kesendirian. Sebab tak mungkin lagi saya menggantungkan diri pada ibu saya.

Pernah tersirat dalam cerita saya sebelumnya tentang ibu saya yang berjuang demi 4 orang anaknya. Sendirian sebab bapak saya sudah lama meninggal dunia. Jadi, sangat tidak mungkin saya bergantung pada ibu saya yang kian tahun kian renta namun masih harus bekerja demi hidupnya sendiri.

Saya memang pulang kembali ke rumah kami, namun hidup saya tetap menjadi tanggungan saya sendiri. Bisnis saya dimulai lagi dari nol. Dan percintaan saya pun kembali ke awal dengan pria yang jauh berbeda.

Saat di titik terendah, kadang saya berpikir untuk menyerah. Namun, saya sudah melangkah mendekati setengah. Terlalu percuma untuk berhenti dan menyerah. Tetap harus berjalan. There's no way back.

Beberapa kawan yang menjalani perceraian masih bisa nyaman dengan orang tua mereka yang sangat cukup. Tidak demikian dengan saya. Bukan. Saya bukan iri. Hanya sedikit mengeluh saja. Sebab saya manusia normal yang ada kalanya butuh mengeluh.

Maka di sini saya. Bercerita pada anda yang sesungguhnya bukan sekedar cerita, namun lebih bersifat keluhan. Saya sedikit lelah menjalani ini. Dan saya berpikir untuk mengubah sedikit target saya.

Tidak salah, kan jika saya mendamba pengayoman dari orang lain? Saya ingin segera menikah lagi. Dengan orang yang baik dan bertanggung jawab. Sebab sepertinya berjalan sendirian cukup melelahkan saya.

Tak perlu kaya raya, saya hanya ingin ada orang yang selalu ada saat saya butuh pelukan. Orang yang menenangkan saya tentang hari esok, yang sekarang masih saya khawatirkan. Orang yang berkata, "tenang, sayang. Besok kita masih tetap bisa makan." Bahkan orang yang bisa bermimpi bersama saya.

Bersamanya saya akan merencanakan banyak hal untuk masa depan kami. Tentang rumah impian, mobil impian, bahkan nama anak yang mungkin akan kami miliki nanti. Mimpi yang membuat kami sama-sama berjuang. Bersama dengannya saya tak perlu takut lagi tentang ancaman hutang dan kehilangan. Bersama dengannya saya akan tenang.

Dan bersamanya saya juga akan mengasuh pria kecil saya yang lucu. Jangan berpikir pria ini hanya dalam mimpi. Sebab saya masih optimis akan ada pria sebaik ini yang mau mengambil saya berpaket dengan anak saya.

Jadi haruskan saya kesana? Atau tetap berjalan sendirian?


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Minggu, 22 April 2012

I Love You Today..

Aromamu kembali tercium samar-samar, saya mabuk. Dalam bayangan yang terlintas jelas bak tampilan tv LED tercanggih abad ini, saya bisa melihatmu tersenyum. Menatap mata saya teduh. Maka saya tahu bahwa saya mencintaimu. Entah sampai kapan ataupun sejak kapan, saya tak peduli. Yang jelas dan pasti, detik ini saya mencintaimu.

Walau-walau yang terlampir dalam cinta saya padamu cukup menguatkan saya, bukan melemahkan seperti kebanyakan orang. Walau kau sering kali membuat saya terjengkelkan oleh ketidakpekaanmu itulah cinta saya makin kuat. menyadarkan saya bahwa kau pun manusia seperti pula saya. Dengan banyak walau yang saya punyai, saya pun ingin kau makin kuat mencintai saya.

Lalu sayang, bisakah kita menikmati hari ini hanya sebagai hari ini saja. Sebab esoknya nanti, hari ini hanya akan jadi masa lalu. Dan biar esok jadi tanda tanya bagi kita berdua. Misteri yang kita nanti tiap harinya. Kejutan entah cinta makin menguat atau banyak goda yang menjegal di antaranya. sebuah to be continued yang kita nantikan dengan harapan-harapan kita. Sudahlah. Kita bercinta hari ini saja. Biarkan esok bercerita tentangnya esok saja.

Jika esok masih menginginkan kita, maka biarkan hari ini menjadi kenangan penguat cinta kita. Namun jika esok mengnginkan kita berderai air mata, maka hari ini akan menjadi kenangan terakhir cinta kita. Bukan saya enggan berharap pada esok. Saya hanya ingin menikmatinya saja. Bukan membebaninya dengan apa yang belum terjadi. Saya hanya ingin merasainya saja. Bukan menggalaukannya dengan apa yang belum saatnya terlintas.

Sudah jelas kan sayang? Saya mencintaimu dengan beragam walau darimu. Hari ini. Entah sejak kapan dan sampai kapan.

Senin, 05 Maret 2012

Extraordinary Me

Suatu peristiwa baru-baru ini menggugah saya pada masa lalu yang sangat ingin saya kubur dalam-dalam. Terlalu pedih dan menyakitkan hingga saya tak dapat lagi melupakan tiap detailnya. Dan beginilah saya dulu.

Duduk menyudut dengan posisi kaki menekuk melindungi badan saya. Menangis dengan posisi wajah menunduk di kedua lutut saya. Takut. Pedih. Luka. Marah. Tersingkir. Tertekan. Benci. Menjadi satu bercampur dalam benak saya saat itu. Why? Itu saya saat hanya bisa diam dan tak mampu membela diri saya. Itu saya saat orang yang bahkan sangat saya harapkan memilih untuk tidak melindungi saya.

Dan saat itu saya yang sedang mengandung anak semata wayang saya pun hina dan tak pantas. Karena apa? Karena keberadaan saya yang menurut mereka entah mengganggu atau sasaran empuk limpahan emosi para ipar saya. Ya. Ipar saya. Maaf, maksud saya mantan ipar saya.

Ketika kehamilan membuat saya banyak tidur dan lemah dengan tekanan darah yang turun drastis, mereka menganggap saya pemalas yang tidak produktif. Namun tidak pedulilah mereka bahwa ada suatu masa di mana saya duduk membungkuk memotongi lembar demi lembar kertas agar terbentuk kartu nama demi lima ribu rupiah tiap kotaknya yang tak pernah saya dapatkan dari mantan suami saya. Mereka hanya mau melihat yang buruk bagi mereka dan menutup mata akan apa yang saya perjuangkan.

Bersama-sama mereka mengata-ngatai saya di luar sana. Mantan suami saya tak sedikitpun membela saya. Menurutnya, mereka lebih tua dan tak patut dicela. Maka celakalah saya.

Hampir sama dengan belasan tahun sebelumnya saat saya meringkuk dengan campuran perasaan yang sama jauh di kolong tempat tidur. Karena apa? Karena mantan ayah tiri saya yang sedikit-sedikit melimpahkan amarahnya pada saya dengan pukulan-pukulannya di wajah saya. Lalu pantaskah saya diperlakukan demikian? Pantaskah saya dibiarkan sedemikian rupa terpuruk tanpa pembelaan?

Bahkan sampai detik ini saya sangat membenci orang-orang ini. Mereka yang sudah menguras air mata saya. Melukai. Menekan. Menyiksa. Mencela. Memaki. Menjadikan saya sand-sack tinju mereka. Bukan salah saya jika maaf bagi mereka masih terlalu jauh.

Lalu dengan menulis ini, semua luka saya kembali datang satu persatu. Menyakitkan. Membuat saya terdiam dan bersyukur saya bisa melewati semua itu dengan hebat. That's why I'm an extraordinary.

Rabu, 01 Februari 2012

Let me be a human just once..

Berat karena banyak yang harus saya selesaikan hari ini. Berat karena banyak yang menuntut saya untuk ini dan itu di hari ini. Lalu berat karena saya mengingatmu yang tiap saya merasa begini kau selalu ada untuk meringankan saya dengan keluh kesah saya.

But then I realized. Saya sudah memutuskan untuk berdiri sendirian. Maka keluh kesah saya pun melanting pada orang lain, yang sepertinya berat menerima keluh kesah saya. Hingga akhirnya saya hanya bisa menangis. Menyadari bahwa sisi manusiawi saya nampaknya masih terlalu manusiawi untuk menjadi malaikat. But, I'm not an angel. Sekali-kali tak mengapa mengeluh. Sekali-kali tak mengapa menangis.

But then I all alone. Bukan karena saya tak memiliki kawan. Namun karena hanya dengan sendiri saya merasa jadi manusia normal. Too much pressure today. Let me be a human just once. 

Senin, 12 Desember 2011

Cerita Tentang Pernikahan Saya

Awal menikah saya sudah hamil duluan, saya mendapat banyak perlakuan tidak menyenangkan dari mertua dan ipar saya. Saat itu suami saya tidak bekerja dan terpaksa apapun saya kerjakan demi sedikit uang untuk memenuhi hidup saya. Bagi saya hal tersebut tidak terlalu berat karena dari kecil saya sudah dididik untuk ulet mencari uang. Dan usaha kecil saya yang bermodal menjual hp untuk membeli printer pun saya tekuni. Saya membuat kartu nama. Harga per box 25ribu dengan untung bersih 5rb. Bahkan dengan perut besar saya memotongi lembaran kertas agar jadi seukuran kartu nama, sementara suami saya tidur-tiduran atau main game.

Lalu saat suami saya mendapat pekerjaan dan memperoleh gajinya yang pertama, saya diberinya uang sebesar 50ribu sebulan. Hingga saya harus protes karena nilai 50rb itu terasa sangat menghina, lalu dia pun mulai memberi saya 200rb per bulan. Saya syukuri itu.

Pada hari menjelang kelahiran anak saya, dia masih memilih berangkat ke kantor dan meninggalkan saya sendirian mengerang kesakitan dengan alasan sudah ada janji dengan calon nasabah. Sepulang kerja sekitar masa setelah adzan magrib baru dia menampakkan diri. Memang dia menemani saya di ruang bersalin. Ikut andil dalam proses kelahiran saya. Namun lagi-lagi malam setelah anak saya lahir dia pulang ke rumahnya untuk mengubur ari-ari anak saya. Saya menunggu lama sekali namun dia tak juga kembali ke rumah sakit. Baru kelihatan sesaat setelah adzan subuh karena dia harus sahur di rumah. Sama seperti sebelumnya, hanya sebentar dan dia pergi bekerja. Maka lagi-lagi saya sendirian.

Saya belajar dan berjuang menyusui anak saya sendirian. Yang suami saya pedulikan bukan manfaat dari ASI, namun betapa tak perlu keluar uang kalau saya berhasil memberi anak saya ASI.

Setahun pertama kelahiran anak saya semua kegiatan anak saya yang mengurus apapun kondisi saya. Saat saya sedang sakit pun saya masih harus memandikan anak. Hingga suatu saat saya menangis karena saya merasa sangat lelah saat sakit. Saya bilang padanya untukbelajar memandikan anak karena saat saya sakit saya sangat membutuhkan bantuannya memandikan anak. Barulah dia mau belajar.

Toko online yang saya rintis saat anak saya masih 3bulanan pun membawa berkah. Perjuangan saya yang harus mengambil dagangan dan mengikatnya di jok belakang motor sementara saya menggendong anak pun terbayar. Saya benar-benar mandiri. Bahkan belanja bulanan pun saya atasi. Dari mulai membeli baju, makanan, dan perlengkapan mandipun saya yang berbelanja demi anak saya. Dia masih memberi saya 200rb per bulan. Toko online saya mulai banyak diminati. Dan saya mulai sering terjaga hingga larut malam demi mempersiapkan dagangan saya. Bahkan saat harus menimbangi teh dagangan pun sering kali saya sambi dengan menyusui anak. Ah, tapi usaha saya tak pernah dilihatnya. Dia hanya melihat keburukan-keburukan saya. Dan semua hal baik saya mendadak lebur.

Pada tahun kedua pernikahan kami, dia mendapat modal usaha dari ibu dan kakaknya. Lalu dia mulai bergelut di bidang saham. Entah bagaimana hasilnya yang saya tahu terakhir dia loss dan hanya menyisakan sedikit uang. Lalu dia mulai belajar option trading, sampai mengikuti seminar-seminar dan membeli DVD tutorialnya yang entah berapa uang yang dikeluarkan untuk itu. Dia menggunakan uang sisa dari permainan sahamnya untuk menjajal Option Trading tersebut. Awalnya saya tidak pernah setuju dengan bidang itu. Namun pendapat saya memang selalu dianggap angin lalu olehnya. Pada tahap pertama Option Trading pun dia kalah telak dan menyisakan uang raturan ribu saja.

Tadinya saya kira dia sudah kapok, namun tahun ketiga pernikahan kami pun dia mulai lagi. Kali ini dengan modal pinjaman yang seharusnya saya pakai untuk modal usaha saya dengan seorang kawan. Saya sudah lelah. Maka biarlah. Dan lagi-lagi dia kalah.

Awal tahun ketiga itu saya sudah menyampaikan ultimatum padanya. Jika di akhir tahun dia masih belum ada perubahan, maka saya akan meninggalkannya. Maka benarlah. Saya pergi. Saya menuntut cerai. Sebab saya sudah tak sanggup lagi harus bekerja keras demi suami pemalas yang bahkan tidak tahu merk bedak saya. Saya pergi meninggalkan rumahnya baik-baik dan meminta ijin pada orang tuanya.

Hingga saya mendapat kabar dari kakak saya kalau suami saya menelponnya dan mengeluh banyak hal tentang saya. Tentang saya yang tidak perduli pada anak, tentang saya yang pulang larut, tentang saya yang boros. But hey! Dia lupa kalau saya yang pada akhirnya menjadi tulang punggung. Saya pulang larut karena saya banyak bekerja. Saya Boros karena memang Cuma uang saya yang bias dibelanjakan. Lalu bagaimana? Apa salah jika saya punya impian tinggi dan tak mau berhenti stuck di titik yang sama seperti dia? Saya masih ingin banyak belajar, masih ingin banyak bermimpi. Dan dia hanya bias mengumbar kejelekan saya dengan sosok sok malaikatnya itu.

Tak hanya itu, dia pun bahkan menemui Mama saya untuk mengeluh ini-itu. Sungguh pathetic. Menjadi sosok tak bertanggung jawab dan melempar kebusukan ke orang lain. Saya malu dan menyesal pernah menikah dengannya.

Saya bahkan sudah terlalu lelah mencari uang dan uang demi membeli susu anak saya yang sudah saya sapih saat berumur 2th 3bln. Saya merasa memiliki suami malah menjadi beban saya. Maka saya memutuskan untuk bercerai. Saya memutuskan untuk bahagia.

Kisah ini saya ceritakan karena saya sudah lelah menyimpan. Sudah saya pikirkan. Dan melihat betapa dia saat ini sedang berusaha merusak reputasi saya dengan mengumbar banyak kejelekan saya di depan keluarga saya. Sesungguhnya dia lupa bahwa keluarga saya jauh lebih mengerti saya ketimbang dia.