Rabu, 02 Maret 2011

Ketika Saya Memimpikan Surga

Terkadang saya mengkhayalkan keindahan surga yang ada di atas kayangan sana. Sungai-sungainya yang mengalirkan air susu, pohonnya yang memiliki aneka macam buah-buahan, warnanya yang didominasi putih, serta bidadari-bidadari yang nyaris telanjang hilir mudik melayani para penghuninya.
Saat saya membayangkan wujud surga, saya pun membayangkan nuansa surga dunia, yang berkerlap-kerlip oleh lampu kota. Beriringan dengan suara-suara musik yang membahana. Warna-warni yang berbaur indah dalam balutan busana para wanita. Sungguh memabukkan jiwa.

Entah mana yang harus saya pilih. Surga yang satu artinya saya harus menahan kesenangan dunia, namun bila surga yang satunya lagi saya harus merasakan siksa di akhir cerita. Sungguh dilemma. Padahal saya ini manusia berjiwa pengembara. Saya berjiwa bebas dan suka kemana saja. Namun bila begini ceritanya, berarti saya harus benar-benar memikirkannya. Bukankah seharusnya untuk memiliki jiwa yang sehat manusia harus berhati senang dan bahagia. Nah, kalau begitu seharusnya kesenangan di dunia itu dihalalkan saja. Tapi, apa boleh dikata, bila Tuhan berkehendak lain, maka yang ada nanti bisa-bisa saya jadi temannya para iblis penghuni neraka. Tapi saya ingin benar mencicipi yang ada di sini, lalu pindah ke yang di atas sana. Apa tidak ada cara lainnya? Wah, mengapa saya malah tawar-menawar begini ya?
Kalau mencoba di sini, nantinya tidak boleh mencoba yang di sana. Begitu pula sebaliknya. Atau saya mencoba yang di sini dulu, lalu bila puas saya akan bertobat, dan tentunya saat mati nanti pada akhirnya toh, saya bisa mencoba yang di atas juga. Licik ya? Tapi manusia memang diciptakan demikian dan sudah menjadi suatu realita klasik bila tak ada manusia di dunia ini yang tidak memiliki sifat licik sebab itu sangat biasa. Dengan sifat licik pun manusia bisa lolos masuk surga. Sudah tentu bila saya sedikit licik saya juga bisa masuk surga. Sekedar menengok sebentar juga tak mengapa. Saya hanya penasaran pada bentuknya saja. Mungkin bila nanti surga buka lowongan untuk posisi tertentu saya bisa melamar dengan memasukkan CV saya. Bukankah keren bila saya pakai nametag yang bertuliskan ‘resepsionis surga’ atau bila pangkat itu berlebihan maka bisa juga sebagai ‘petugas kebersihan surga’ menurut saya dua-duanya sama kerennya. Dan dengan begitu saya bisa dengan bebas keluar-masuk surga.

Tapi, bila saya mulai tersadar dengan lamunan saya, maka semuanya akan terdengar lucu dan tak terduga. Hanya saja, untuk ide yang terakhir tadi saya agak setuju juga lumayan percaya. Sebab part time job kan saat ini sedang tren di mana-mana. Kalau siang di siksa di neraka, lalu kalau malamnya bekerja di surga. Tak masalah bila memang harus begitu adanya. Sebab surga itu ibarat planet pluto nun di sana. Saking jauhnya maka untuk sampai ke sana pun hanya mimpi belaka. Eits! Tunggu dulu, bukankah seharusnya surga yang selalu di jadikan perumpamaan bahasa? Seperti surga di bawah telapak kaki bunda. Berarti besok bila saya jadi kerja di sana maka sama saja saya jadi tukang bersih-bersih kaki bunda. Kalau begitu sih, mudah saja. Hanya saja, saya takut kalau nanti, surga tidak membutuhkan tukang bersih-bersih karena telapak kaki bunda mudah geli dan gampang terluka. Bisa-bisa kalau saya sapu, surga akan gempa bertahun-tahun lamanya. Berarti saya harus mempertimbangkan posisi lain yang mungkin akan ditawarkan di sana. Tukang kebun misalnya. Itu lumayan juga. Saya bisa ikut-ikutan makan buah-buahan yang beraneka rupa dari satu pohon saja. Wah, itu baru keren namanya. Berarti saya harus latihan menjadi tukang kebun mulai sekarang. Memangkas sini lalu memangkas sana. Memupuk kemudian menyirami bunga. Itu sih tidak sulit, pasti saya langsung bisa.

Nah, karena rencana-rencana saya sudah tersusun rapi, maka ini saatnya untuk menjajal surga dunia. Jangan khawatir, saya tidak akan kebablasan di dalamnya. Sebab begini-begini saya ini terkenal pintar menjaga diri saya. Karena itulah ibu saya sangat membebaskan saya dalam hal apapun juga. Termasuk uang misalnya. Yah, yang terakhir ini yang jadi masalah pelik saya. Kalau mau membebaskan anak seharusnya tidak perlu bebas seluruhnya? Lantas dari mana saya dapat uang untuk melang-lang buana di surga dunia? Huh! Sekali lagi, tidak hanya di surga sungguhan, melainkan di surga dunia pun saya harus melakukan part time job juga!



 

July 21st, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar