Saya tidak pernah merasa harus mempertahankan keperawanan. Walau begitu bukan berarti saya adalah seorang wanita gampangan. Saya hanya merasa tidak wajib untuk menyimpan keperawanan. Sebab yang nantinya ada pada diri saya hanyalah kepalsuan. Seperti halnya wanita lain, saya pun juga pemuja keindahan. Bukan berarti saya harus memuja keutuhan dari selaput dara yang bagi para lelaki adalah harta terpandam. Saya tidak peduli dengan apa kata orang-orang. Yang saya pedulikan adalah ketidakmunafikan. Saya berkata dari dalam hati, bukan sekedar ucapan dari mulut semata. Sebab saya ingin jujur. Terutama pada diri saya sendiri.
Saya perempuan, bukan berarti saya perawan. Entah dari segi mana keperawnan dinilai, setidaknya bagi saya selaput dara tak ubahnya seperti segel. Yang artinya bila barang itu milik saya, maka hak sayalah untuk memutuskan kapan akan membukanya. Dalam hal ini saya tidak bermaksud merendahkan diri saya sendiri atau kaum perempuan. Ini hanya pendapat saya.
Kadang kala timbul dalam benak saya untuk bertanya, mengapa hanya perempuan yang memiliki selaput dara? Dan mengapa wajib bagi perempuan untuk mempertahankan keperawanannya? Buat apa perempuan harus mempertahankannya untuk lelaki yang akan dinikahinya, padahal belum tentu lelaki itu masih perjaka.
Bodohnya kaum perempuan, karena tidak bisa membedakan lelaki yang masih perjaka atau yang sudah tidak lagi. Di sini saya mencaci kaum saya sendiri karena saya pun merasa bodoh. Bukannya seharusnya antara perempuan dan laki-laki seimbang? Seperti yang selalu digembar-gemborkan dalam televisi atau media cetak atau demonstrasi tentang hak asasi wanita. Sudah adil memang bila Tuhan menciptakan perempuan dengan vagina dan laki-laki dengan penis. Sudah adil bila Tuhan menciptakan perempuan dengan buah dada dan laki-laki dengan buah zakar. Namun tidak adil bila Tuhan hanya menciptakan selaput dara pada perempuan saja. Nah, sekarang yang ada saya malah menentang Tuhan. Maaf, Tuhan. Bukan maksud saya begitu, tapi setidaknya ini hanya unkapan saya saja. Bukankah saya berhak mengungkapkan apa yang ingin saya sampaikan?
Kembali pada perkara keperawanan tadi. Kalau perawan berarti emas, lalu bagaimana dengan keperjakaan yang kasat mata itu? Sebab pada kasus-kasus lama selalu istri yang ketahuan sudah tidak perawan lagi yang akan dilecehkan. Lantas bagaimana para istri tahu kalau suaminya sudah tidak perjaka?
Bagi saya keperawanan hanya simbol dan itu tidak mutlak. Mungkin karena budaya yang menjunjung tinggi keperawananlah yang membuatnya terlihat begitu sakral dan suci. Bukankah seharusnya yang dilihat itu hati dan jiwanya. Sebab yang sering saya dengar begitu. Lihatlah perempuan bukan dari fisiknya, namun dari kecantikan dalamnya atau yang tren disebut inner beauty. Sekali lagi saya bertanya, bukankah selaput dara itu termasuk fisik karena bisa diraba?
Entah kenapa dari tadi saya hanya menyatakan ketidakadilan melulu. Mungkin karena saya terlalu penasaran dengan jawaban-jawaban yang juga kasat mata seperti keperjakaan. Atau saya terlalu perfeksionis membela kaum perempuan? Sampai saat ini saya masih tidak mengerti.
Saya perempuan, bukan berarti saya perawan. Namun bukan berarti saya perempuan gampangan. Keperawanan saya hanya saya berikan pada laki-laki yang benar-benar saya cintai dan saya percayai. Bila cinta saya mengusang, toh itu bukan halangan. Sebab samapai saat ini saya hanya bersenggama dengan satu laki-laki saja. dan itu kejujuran saya pada diri saya sendiri. Itu bukan suatu kemunafikan.
Sunday, July 31, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar